Kyai Sepuh


 KYAI Sepuh bukan dukun, bukan tukang ramal, bukan pula tukang tenung. Kyai Sepuh hanyalah seorang pemain teater. Tepatnya bekas pemain teater yang mengalihkan kemampuannya berseni peran dari panggung ke dalam kehidupan sehari-hari.

Dari caranya bersikap, memainkan mimik muka maupun bahasa tubuhnya, dia berhasil memberi kesan bahwa dirinya betul-betul seorang manusia bijak. Terbukti dengan begitu banyak orang yang percaya kepadanya, tanpa kesadaran bahwa yang dipercayainya adalah suatu peran yang dimainkan.

Demikianlah berlangsung dari hari ke hari. Dan setelah bertahun-tahun, Kyai Sepuh akhirnya berhasil mengelabui dirinya sendiri. Betapa dia memang sebenarnyalah sungguh bijaksana, pandai, cerdas, dan berpengetahuan. Dia sungguh-sungguh mengira, dengan kepekaan yang dirasa-rasakannya saja, dapatlah dia menunjukkan kebenaran yang dicari semua orang. Apalagi sambutan orang-orang di sekitarnya pun serba membenarkannya.

Hanya saja Kyai Sepuh sudah mulai sakit-sakitan dan pelupa. Namun tiada seorang pun yang percaya. Kyai Sepuh sendiri memang tidak pernah memeriksakan sakitnya ke dokter. Karena ia berpikir jika dirinya berobat ke dokter dan darahnya diperiksa oleh laboratorium kesehatan, orang-orang tidak akan percaya lagi kepadanya.

“Masa orang pinter ke dokter,” itulah tanggapan yang dihindarinya.

Begitulah, semakin banyak saja orang yang datang minta petunjuk. Begitu banyak sehingga sudah tidak mungkin lagi dilayani satu per satu. Kerumunan di rumahnya begitu besar yang jika diurutkan dalam antrean akan menjadi terlalu panjang, yang dalam waktu 24 jam pun tidak akan berkurang karena orang-orang yang terus mengalir berdatangan.

Maka Kyai Sepuh memutuskan, penyelesaian masalah tidak akan dilakukan bagi setiap orang satu per satu, tapi secara borongan. Satu petunjuk untuk semua orang dengan penafsiran masing-masing.

Hari itu Kyai Sepuh bersila di tempatnya yang biasa. Sebuah kotak persegi panjang yang dalam dunia teater disebut “level”. Cukup sebuah level yang dialasi tikar pandan murahan, maka dia pun sudah lebih tinggi dari orang-orang yang berkumpul di ruangan itu. Kedudukan lebih tinggi itu baginya perlu, karena akan memberi kesan lebih tinggi dari segalanya, di ruangan itu maupun dunia di luarnya.

Dalam dunia teater, panggung adalah pusat dunia, dan ruangan itu adalah panggungnya. Kelompok teater yang didirikannya sudah lama bubar dan orang-orang sudah melupakannya. Khalayak kini mengenalnya sebagai orang pinter yang bisa menjawab semua pertanyaan tentang segala hal dengan baik dan benar, tepat dan jitu, asal mampu menafsirkan petunjuknya.

Segala sesuatu yang terbukti menunjukkan kepintaran Kyai Sepuh. Segala sesuatu yang tidak terbukti menunjukkan kebodohan penafsirnya. Begitulah hukum yang berlaku di dunia Kyai Sepuh.

Dari masa lalunya hanya tersisa level itu. Dia hanya butuh satu. Lebih dari cukup untuk meninggikan dirinya dari siapa pun yang masuk ke rumahnya, panggungnya di dunia nyata, dan hari itu dia sedang berada di sana, bersila, memejamkan mata dengan kepala tertunduk dan tubuh membungkuk, tidak terlalu jelas apakah sedang tafakur atau mengantuk.

Dia sendiri kurang mengerti mengapa semakin tua dan semakin memutih jenggotnya dia begitu mudah terkantuk-kantuk. Namun lebih penting baginya bahwa semakin tua dirinya semakin dihormati, meski juga tidak terlalu jelas baginya apakah dia dihormati karena memang dianggap bijak ataukah sekadar karena tua.

Angin pagi masuk lewat jendela yang satu dan keluar lagi lewat jendela yang lain, membuat udara semakin sejuk, meski dinding kayu itu mulai memantulkan cahaya keemasan matahari. Mereka telah menunggu sejak pagi buta ketika Kyai Sepuh belum bangun. Setelah mandi dan sarapan Kyai Sepuh muncul, mengulurkan tangan untuk diletakkan di dahi tamu-tamunya, lantas duduk bersila di tikar itu.

Sampai lama sekali orang-orang menunggu. Di luar semakin banyak orang berdatangan dan tidak bisa masuk ke dalam sebelum orang-orang yang di dalam keluar. Beredar kabar Kyai Sepuh belum mengatakan apa pun sejak tadi.

“Kyai tidak selalu mengatakan sesuatu,” kata seseorang.

“Barangkali Kyai memang tidak akan mengatakan apa pun,” kata yang lain.

“Kyai memang tidak perlu mengatakan apa pun,” kata yang lain lagi.

“Kyai akan memberikan tanda-tanda.”

Seperti mendapat jalan keluar, semua orang menunggu. Jika tidak mengatakan sesuatu, Kyai Sepuh semestinya memberikan penanda, sebagaimana telah ditafsirkan selama ini oleh para pencari petunjuk. Sedangkan jika mengatakan sesuatu, kata-kata Kyai Sepuh tidak akan menunjuk langsung, jadi seperti penanda-penanda juga.

Akibatnya, selain merujuk Kyai Sepuh, para pencari petunjuk harus memanfaatkan jasa para juru tafsir di sekitarnya. Tidak terlalu jelas bagaimana mereka bisa muncul dan menjadi bagian dari keberadaan Kyai Sepuh, yang jelas kadang-kadang ongkos balas jasa bagi juru tafsir ini jauh lebih besar daripada balas jasa sukarela kepada Kyai Sepuh. Berapa? Jika Kyai Sepuh tidak pernah mengucapkan apa pun soal balas jasa, para juru tafsir ini selalu mengatakan, “Tahu sendiri.” Supaya tidak melakukan kekeliruan, orang-orang yang membutuhkan petunjuk Kyai Sepuh ini pun akan memberikan imbalan lebih dari pantas, yang kadang-kadang diterima dengan menggerutu.

“Kalian ini katanya membutuhkan pertolongan, dan petunjuk Kyai akan menyelesaikan masalah kalian, kenapa begitu malas memberikan imbalan? Jangan mau enaknya sendiri dong …”

Kyai Sepuh mendadak terbatuk-batuk. Ada yang mengira beliau sakit, tetapi para juru tafsir pendapatnya berbeda.

“Siap! Siap!”

“Rekam! Rekam!”

Ratusan orang mengeluarkan telepon genggamnya. Terekamlah bagaimana Kyai Sepuh terbatuk-batuk tanpa ada yang menolongnya. Sampai Kyai Sepuh sendiri terpaksa berpantomim menirukan orang minum, barulah seseorang datang membawakan air mineral.

Setelah minum, Kyai Sepuh tampak lebih tenang meski dadanya masih naik turun. Namun orang-orang sudah mendekati para juru tafsir yang segera membahas penanda berwujud batuk tersebut.

“Coba, berapa kali Kyai batuk?” kata seorang juru tafsir.

Rekaman pun diulang untuk menghitungnya.

“Empat puluh kali.”

“Tiga puluh sembilan.”

“Saya hitung kok empat puluh satu?”

“Huss! Kok lain-lain? Mesti yang bener! Lain hitungan lain lagi maknanya!” Seorang juru tafsir memberi komando.

Untuk mencapai kesamaan hitungan di antara ratusan orang ternyata tidak gampang. Lama kemudian baru disepakati, Kyai Sepuh batuk 45 kali.

“Huh, jauh banget. Coba langsung ditancap saja maknanya tadi, kan salah semua?”

Nah, jadi apakah maknanya batuk Kyai yang 45 kali?

Seorang juru tafsir berkata, “Karena artinya untuk setiap orang dan setiap persoalan lain-lain, setiap orang mendapat bisikan yang harus dirahasiakan. Jangan pernah membuka rahasia ini karena tuahnya akan langsung hilang.”

Setiap juru tafsir menyampaikan hal yang kurang lebih sama kepada orang-orang yang mengerumuninya. Namun ternyata Kyai Sepuh batuk-batuk lagi, dan meskipun begitu rupa parah batuknya, sampai Kyai jatuh tengkurap dan tercekik-cekik, orang-orang lebih cenderung menganggapnya sebagai rentetan penanda belaka.

“Rekam! Rekam! Rekam!”

“Jangan lolos satu gerakan pun!”

Memang benar seseorang memberikan botol air mineral sambil mengurut-urut punggungnya, tetapi batuknya tidak pernah berhenti lagi, sampai mata Kyai mendelik dan lidahnya terjulur, ketika batuknya menyatu tanpa jarak lagi sebagai ketercekikan yang panjang.

Suara aneh terdengar dari tenggorokannya, seperti hembusan napas yang keras, sepintas lalu bagaikan dengkur orang tidur.

Lantas Kyai Sepuh tidak bergerak lagi.

“Dapet semua?” Seorang juru tafsir bertanya.

“Alhamdullillah … dapet!”

Bertahun-tahun kemudian orang masih datang ke makam Kyai Sepuh untuk mencari petunjuk dan mendapatkan penanda-penanda. Segenap penanda yang berasal dari peristiwa kematiannya disebut-sebut telah mengatasi sebagian besar masalah, jika bukan seluruhnya, berkat pemecahan maknanya oleh para juru tafsir. Kehidupan dan kematian –adakah makna yang bisa lebih besar dari itu?

Sampai sekarang orang masih berdatangan mendaki bukit, menuju makam Kyai Sepuh yang terletak di bawah pohon dan sengaja dipisahkan dari makam-makam lainnya. Orang-orang bermalam di sekitarnya, membakar kemenyan atau hio, lantas menyerahkan diri kepada alam.

Menurut pengakuan orang-orang yang merasa mendapat petunjuk, penanda-penanda dari Kyai Sepuh mereka dapatkan dari bintang-bintang di langit, angin yang berdesir, atau gugur daun yang diterbangkan angin itu. Adakah kiranya yang bisa lebih kaya dari alam semesta sebagai sumber penafsiran segala makna?

Seorang juru kunci telah hadir di makam itu. Beliau dapat membantu pemecahan makna segala penanda, dan sungguh telah mendapatkan banyak uang.

Ada juga yang bercerita bahwa Kyai Sepuh muncul dalam mimpinya dan betapa ia menjadi sangat bahagia.

Betapapun telah disebutkan tadi, Kyai Sepuh bukanlah dukun, bukan tukang ramal, bukan pula tukang tenung. Kyai Sepuh hanyalah seorang pemain teater sahaja—tentang ini sudah tidak banyak orang yang mengetahuinya.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar