Bumi Pesantren


 Langit malam yang indah, berhiaskan sinar rembulan terselubung awan mendung, hadir membawa kesunyian yang sejuk di jagat pesantren. Terlihat di pojok ruang sempit nan tinggi, sang kutu kitab sedang menjalankan aksinya, menguliti setiap lembar kitab yang ia usap.

Tak terhitung, sudah berapa kali lembar kitab Zubdatunnaqiyyah (Syarah Kitab Matan Al-Ajurumiyyah karya KH. Aqiel Siroj) ia bolak-balik sampai terlihat kusut. Namun tetap saja, dalam otaknya serupa kuburan mati. Seakan menutup pintu rapat rapat, tak menghiraukan tamu yang datang.

“Tuhaaaannnn, bisakah Engkau turunkan ilmu laduni kepada hamba-Mu ini?” celetuk kata hati Ilham dengan perasaan putus asa. Dan semakin lama dirasakan, perasaan getir itu hampir meneteskan air mata berharganya ke bumi.

Tiba-tiba terdengar suara memanggil “Ilham, ayo turun.” Ujar Ridwan yang lebih dikenal dengan sebutan Gehong. Mendengar panggilan nyaring temannya itu, Ilham segera menuruni anak tangga dengan lesu tanpa energi, seakan hidupnya tak berguna. “Ada apa Hong?” tanya Ilham. “Kowen piymen Ham, sudah lupakah bahwa malam ini tugas kamar kita untuk jaga malam?” dengan logat Jawa medoknya yang khas daerah Brebes. “Oh iya yah, aku lupa. Maaf Hong, ya sudah ayo kita pergi” tegas Ilham tanpa memperdulikan kekesalan temannya.

Mereka berdua pergi menyusul teman sekamarnya, yang sudah sampai di rumah Pak Kiai Uhes. Tak lupa, mereka membawa alas tidur dan terkhusus Ilham, dia menyelipkan kitabnya di lempitan alas tidur tersebut.

Alas tidur mereka gelar lebar-lebar di beranda rumah Pak Kiai, dengan selimut bekas rumah sakit sebagai tameng ampuh mencegah angin menerobos tubuh mereka. Entah dari mana Ridwan bisa mendapatkan selimut dari rumah sakit itu. Dua minggu yang lalu, dia pulang karena sakit cacar dan Kembali lagi ke pesantren dengan membawa oleh-oleh selimut rumah sakit.

Di saat Ilham ingin memejamkan mata, pikirannya seakan menolak akan hal itu. Dia teringat akan kitabnya yang sampai saat ini belum juga ia pahami. Melihat kegusaran temannya, Ridwan berinisiatif menanyakan permasalahan temannya itu “Ham, kamu ada masalah apa?”. Satu pertanyaan itu tidak membuat Ilham bergeming. Dua kali pertanyaan, tiga kali pertanyaan, Sampai akhirnya, Ridwan berteriak cukup keras memecah kesunyian malam dan lamunan Ilham pun goyah.

Seketika juga, teman-temannya yang sedang asik mereguk indahnya mimpi, langsung terbangun mendengar teriakan Ridwan yang mengusik telinga mereka. Kecuali Timo, Ketika sudah tertidur, secara otomatis mode pesawat langsung aktif dalam dirinya. Hanya ada satu yang bisa membuatnya bangun, yaitu suara Ustadz Sallim yang terkenal akan kegalakannya. Bahkan mendengar suara motornya Ustadz Salim saja, membuat bujang itu langsung terbangun.

Arif dengan jiwa frontalnya langsung bertanya kepada Ridwan “Hong, ada apa? Tidak bisakah kau bicara pelan saja? Hah?”, disambung dengan protesnya Ali yang telah terprovokasi oleh hentakan Arif tadi ” Iya, ada apa sih?” bahkan Udin yang terkesan kalem pun ikut berpartisipasi ” aya naon ieu teh ? sing tenang heula, Sok coba atuh jelaskeun Ceng ” .

Ridwan yang tadinya mulai naik darah, langsung meredam setelah mendengar tutur halus dari Asep.

“Jadi gini teman-teman, ada salah satu teman kita yang sedang punya masalah tapi tidak mau cerita perihal masalahnya” ujar Ridwan sambil menoleh sinis terhadap Ilham.
Ilham yang kini menjadi pusat perhatian teman-temannya, tanpa sadar meneteskan air mata. Kini perasaannya remuk redam tak beraturan. Melihat keadaan Ilham dalam keterpurukan, teman-temannya langsung mendekati Ilham dan memeluknya. Dan pada akhirnya, Ilham pun berani membuka suara tentang masalahnya.

Setelah mendengar curahan hati dari Ilham, mereka pun saling mengulurkan bantuan kepada temannya itu. Udin dengan kecerdasannya ditambah ia memang seorang rois ‘aam (orang yang memimpin jalannya muthola’ah (mengulang pelajaran) dan diskusi di semua mata pelajaran di kelas) mulai membantu Ilham dalam memahami kitab Zubdatunnaqiyyah, tepatnya dalam bab isim ghoiru munshorif. Arif dan Ridwan berlari menuju kamar mengambil kitab masing-masing, karena di kelas mereka, telah mengkaji bab isim ghoiru munshorif. Sedangkan Ali, pergi ke warung membeli bahan pertempuran untuk malam ini.

Mereka pun mulai saling bahu membahu belajar bersama ditemani kopi hitam dan senandung ngorok dari Timo. Dan mereka bisa tertidur pulas di jam 2 dini hari. Sambung tangan mereka dalam problematika ini membuat Ilham sadar, betapa berharganya harga sebuah pertemanan.

Tabuh rotan dari pengurus, seketika mengacaukan realita mimpi Ilham dan kawan – kawan dikala terpejam. Kecuali Timo yang tetap anteng dalam mati surinya. Namun, lantunan merdu sholawat tarhim subuh dari sang muadzin, membuat mereka berat melangkah dari tempat tidur. Karena seakan-akan, suara tarhim itu pengiring lagu untuk melanjutkan mimpi mereka yang sempat tertunda.

Melihat anak-anak ini belum pergi juga, kang Juned yang merupakan khodam Kiai Uhes langsung menjewer kuping mereka. Sehingga mereka pun terperanjat berdiri tanpa aba-aba. Beda halnya perlakuan Kang Juned terhadap Timo yakni lebih istimewa. Satu sampai lima kali Kang Juned menjewer Timo, tetap saja nihil. Setelah cara lembut telah dilakukan, Kang Juned pun bersekutu dengan rotannya menyatukan tekad untuk menyabet Timo di bagian paha.

“Plaaaak….”

Sekujur badan Timo seakan tersengat listrik, menghasilkan energi elektron yang membuat sistem saraf sensorik dan motoriknya kembali aktif.

“Aduuh… sakit” keluh Timo dengan ekspresi muka yang masam.

Melihat pertunjukan seperti itu, teman-temannya pun lantas tertawa lepas melihat Timo yang meringis kesakitan. Dan mereka menganggap hal itu (menyabet) sebagai kejadian yang lumrah, bahkan hiburan tersendiri bagi mereka yang menyaksikannya. Bukan dianggap sebagai pelanggaran HAM apalagi tindak pidana.

Setelah kejadian fenomenal itu, mereka pulang ke kamar bersama-sama tanpa adanya rasa benci maupun amarah yang terpendam. Bersiap melaksanakan ibadah sholat subuh berjemaah di Masjid.

Selepas sholat subuh ditunaikan, para santri bersiap mengerahkan tenaganya untuk kegiatan masing-masing. Ada yang mengaji Juz ‘amma, Al-Qur’an, menghafalkan nadzom (syair bahasa Arab), mandi, roan (bersih-bersih lingkungan Pesantren), dan lain-lain.

Sang mentari pagi bersinar menyirami bumi Pesantren, menyilaukan kedua mata Ilham yang berada di tengah sawah, sedang mengerahkan memori akalnya untuk menyimpan hafalan Had Al-Ajurumiyyah. Tak sadar bahwa sekarang telah menunjukan pukul 06.30 waktu setempat. Ia pun beranjak dari tempat kesunyian menuju keramaian yaitu kamar. Sebuah kamar kecil yang melebihi kapasitas kuantitas. Dimana kamar yang seharusnya disinggahi lima orang, malah dipaksa menjadi tiga belas orang. Tapi dari tempat situlah orang-orang besar terlahir.

Setibanya Ilham di kamar tercintanya, ia pun segera mengambil kitab Zubdatunnaqiyyah untuk kembali di-muthola’ah, karena khawatir mendapat giliran maju membaca dan menerangkan pelajaran sebelumnya. Ditambah lagi, Ustadz Sallim yang begitu tegas kepada muridnya. Dua minggu yang lalu, dua anak telah menjadi korban. Karena belum lancar menerangkan, dua orang itu di hukum dengan sabetan rotan yang begitu keras di tangannya. Bukan hanya kesakitan yang mereka dapatkan, tapi juga rasa malu yang harus mereka berdua dapatkan. Namun, suatu saat nanti kejadian itu akan menjadi kenangan berharga yang tak ternilai harganya.

Dengan penuh percaya diri lewat stimulus teman-temannya tadi malam, Ilham yakin bisa membaca dan menerangkannya dengan sangat baik dikala ia ditunjuk nanti. Ia pun tersenyum bahagia, karena pada akhirnya ia bisa lega, terlepas dari rasa gelisah dan khawatir.

Tepat pukul 07.45 waktu setempat, Ilham dengan percaya dirinya melangkah tegak ke kelas, bagaikan Prajurit siap tempur membawa senjata AWM.

Kini Ilham dan teman-teman sekelasnya menunggu dengan ta’dzim kedatangan sang Komandan memasuki ranah pertempuran.

Setengah jam pun berlalu, dan dendangan Nadzom Tuhfatul Athfal masih serempak diserukan. Namun suara motor beliau yang khas itu, belum juga terdengar. Sampai pada akhirnya, kabar mencengangkan pun tiba. “Ustadz Sallim sedang berhalangan hadir karena ada urusan mendadak. Jadi jam pertama sekarang ditiadakan” tutur guru piket yang bernama kang Imam, sambil menenteng kertas absen para Ustadz. Seketika gemuruh kelas serempak bersorak sorai, memecah kegundahan yang sempat melanda. Tapi tidak untuk Ilham. Ia tidak berekspresi apapun. Karena dia sendiri bingung, apakah harus senang karena libur atau sedih karena usaha yang ia korbankan sejak tadi malam tidak terlaksana hari ini.

Kang Imam yang masih di ruangan itu, kemudian berkata kembali ” Eiits, jangan senang dulu. Kalian masih ada jam kedua yah, yaitu pelajaran Tijan Darori”. Seketika itu pula, ruangan kembali hening. Seakan mereka melupakan dengan cepat kesenangan yang tadi mereka rasakan. ” Ayo baris yang rapi! sebentar lagi Ustadz Ahmad datang” ujar Kang Imam sambil melangkah pergi.

Lima menit kemudian derap langkah mulai terdengar samar – samar.

“Assalamu’alaikum” kedatangan yang ditandai salam pembuka dari Ustadz Ahmad, menghentikan muthola’ah anak-anak tentang kitab Tijan Darori. Dan serentak menjawab “Wa’alaikumsallam”.

Doa belajar langsung diserukan.

Baris kedua di sisi paling kanan, Ilham mulai was – was karena khawatir ia akan ditunjuk untuk maju ke depan, membaca pelajaran minggu sebelumnya. Celakanya, dari kemarin ia hanya fokus memahami kitab Zubdatunnaqiyyah dan menghiraukan kitab Tijan Darori. Karena Ilham berasumsi, bahwa Ustadz Ahmad tidak setegas Ustadz Sallim. Seandainya tidak bisa, hanya dihukum berdiri saja.

Ustadz Ahmad mulai mengeluarkan buku penilaiannya dan siap memilih secara acak nama yang akan disuruh baca di depan. Di saat- saat seperti inilah, hati setiap anak yang ada di ruangan mulai berdetak kencang.

“Ilham, maju!” tutur Ustadz Ahmad.

Boom…, asumsi Ilham menjadi kenyataan.

Seketika seluruh penjuru mata berfokus terhadap Ilham. Dan Ilham yang menjadi pusat perhatian, mulai terasa panas dingin. Dengan kekuatan yang tersisa, Ilham melangkah maju di-iringi tubuh yang bergetar dengan sendirinya.

“Silahkan Ilham, Bismillah” Ustadz Ahmad kembali berkata.

Ilham membuka kitabnya dan mengawali bacaannya dengan ucapan “Bismillahirrahmanirrahim”. Setelah itu kosong. Tidak ada makna (tulisan pegon) dan harokat yang ia tulis. Semuanya bersih hanya menyisakan huruf hijaiyyah yang gundul.

Satu menit hening dan akhirnya dua kata keluar dari lisan Ilham “belum nderes, ustadz”.

Ustadz Ahmad menimbal balik ucapan Ilham dengan tenang “Berdiri!”

Dengan kepala menunduk ke bawah, Ilham berdiri di depan kelas sambil meratapi kesalahannya dan menanggung malu di depan teman-temannya.

Dan kini Ilham sadar, bahwa berfokus hanya pada sesuatu yang besar saja dan melalaikan sesuatu yang kecil itu sangatlah salah. Karena efeknya telah ia rasakan sendiri saat ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar